Jumat, 19 September 2008

Sebagian Kecil dari Tantangan calon terpilih KEMA FK-UH

“Tugas pokok manusia modern saat ini, baik ia datang dari barat maupun timur, adalah meneguhkan kembali kedudukannya, memantapkan kembali keberadaan absolutnya, tujuannya di dalam kosmos ini” (Syahrir)

Salam Demokrasi..Pertarungan yang akan berlehat pada bulan ini dalam suatu pemilu kema fk-uh, kupikir merupakan pertarungan yang munafik. Berdasarkan kenyataan bahwa pertarungannya ialah pertarungan antar organisasi tanpa melalui wadah formal tersendiri yaitu partai politik. Dengan dalih kebersamaan dan kekeluargaan system kepartaian dihapuskan pada tahun 2006, Akhirnya keterbatasan yang membedakan antara calon yang satu dengan yang lain tidak ada dan tidak jelas. Sehingga proses pemilihan yang terjadi nanti ini bukan lagi kearah substansial –perjuangan ideology dan program kerja- tetapi akan bersandar kepada figuritas. Kita akan melihat masa lalu masing-masing calon. Apakah pengalamannya sudah mencukupi untuk membawa KEMA FK-UH?Apakah dia sudah siap menghadapi tantangan birokrasi dengan berani? Lebih buruknya lagi jika pertanyannya sudah mengarah kepada pergaulan atau siapa dekat dengan siapa. Sehingga pemilih akan memilih calon yang berlatar belakang sama dengannya. Ya.. tentunya efeknya akan menyulitkan pembelajaran demokrasi menjadi lebih baik. Yang tercipta adalah pemilih-pemilih yang tidak cerdas, aku pilih dia karena senior suruh aku pilih dia.
Selain itu, anggapan yang sering muncul pada masyarakat kampus juga sangat mempengaruhi proses ini yaitu sama saja hasilnya siapapun yang naik itu, tetap tidak akan membawa perubahan. Pesimistis masyarakat kampus merupakan hal yang wajar karena nilai-nilai pragmatisme sedang menyerang kampus.
Selain factor dari dalam/system yang sulit menciptakan atmosfir pembelajaran demokrasi dengan baik, ada juga factor dari luar seperti keterbatasan pergerakan kita sebagai mahasiswa melalui ketatnya sistem akademik. Perlu perubahan-perubahan yang mendasar sehingga proses demokrasi paling akbar KEMA FK-UH dapat berlangsung dengan ideal.
Perlu perubahan mendasar
Melihat kondisi realita yang akan dihadapi seperti yang disebutkan diatas, memang perlu perubahan-perubahan yang mendasar bagi masyarakat kampus.baik itu berupa sistem yang berlangsung maupun dari individu masing-masing. SIapapun yang akan berhasil naik menjadi 01 KEMA FK-UH,sepatutnya untuk menjadi seorang eksekutor perubahan.
Hal yang paling urgent dilakukan ialah penguatan wacana-wacana social dari kiri hingga kanan atau pembelajaran filsafat dari yunani sampai sekarang, merupakan hal yang mutlak kita butuhkan . Karena pergerakan tanpa penguatan ideology pada daerah basis akan menciptakan proses bunuh diri. Seperti kaum Komunis yang mengadakan Revolusi di Indonesia tahun 1927.
Kita butuh kesadaran-kesadaran yang lebih maju, bukan hanya kesadaran ekonomi dan material tetapi lebih dari itu, kesadaran akan eksistensinya –kesadaran esensial- sehingga melahirkan kesadaran bertanggung jawab. Bukan lagi kita hanya menciptakan manusia-manusia yang professional dalam kerjanya tapi lebih dari itu, kita mampu melihat apa itu kerjanya, mengapa kita bekerja seperti itu, bagaimana kondisi dunia kerjanya itu, dan lain-lain. Sehingga kita akan lebih mampu menyeleksi mana yang menjadi kebutuhan masayarakat sekarang bukan yang mana kita butuhkan agar kita dapat menikmati hidup dengan baik. Tentu ini berkaitan dengan profesi kita sebagai calon dokter agar selalu mampu melakukan tugas mulia dengan menolong orang, bukan karena uang atau status social. Memang sebuah kesulitan karena era pragmatisme sedang berkuasa.
Kedua ialah sisa dari nilai feodalisme dalam kultur dunia kedokteran kita yang masih kental membatasi pergerakan demokrasi. Ini bersumber dari sumpah hipocrates yang menjunjung tinggi berlebihan proses menghargai sehingga mengorbankan apa yang menjadi hak kita dengan pengakuan dari seorang yang kita anggap lebih tinggi. Padahal siapapun itu mereka berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan kita. Proses intimadasi dengan kalimat “kau masih mau jadi dokterkah?” merupakan salah satu produk dari prinsip feodalisme yang masih berjaya. Atau proses KOAS dimana unsur nepotisme sangat terlihat. Memang betul dunia kedokteran adalah dunia etika tapi apakah kesadaran beretika hanya didapatkan melalui proses doktrinasi dan intimidasi. Memang ini merupakan sebuah pertanyaan apakah manusia akan mengembangkan kesadaran eksistensinya pada saat ditindas dan dikekang atau pada saat disuapi dengan berbagai wacana yang menjelaskan realita dari sudut pandang yang berbeda. Pengembangan kesadaran dengan proses penindasan kupikir hanya melahirkan kesadaran/berani untuk melawan bukan untuk melakukan sebuah perubahan.
Ketiga, salah satu istilah yang digunakan pada Deklarasi Hasanuddin ialah menjadi “garda terdepan” dalam memperjuangkan hak-hak rakyatnya, tentu harus diaplikasikan secara nyata. Namun realitanya mahasiswa yang bersentuhan langsung dengan rakyat yang paling bawah –mahasiswa FK- justru terkadang menjadi garda terbelakang dalam proses perjuangan rakyatnya tersebut. Entah karena kurangnya pengetahuan atau proses pengkaderan atau kultur FK atau system akademik. Ini tentu perlu dijawab dengan bijak.
Dan masih banyak lagi PR-PR yang harus dilaksanakan oleh calon terpilih nanti, termasuk kondisi mahasiswa kelas internasional yang belum jelas arahnya, ketatnya sistem akademik yang tentunya membatasi gerakan mahasiswa, bagaimana menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkadang mendzalimi rakyatnya, dan masih banyak lagi.
Tantangan dalam konteks Pemilu Indonesia
Lebih penting lagi jika kita berbicara pada tataran konteks Indonesia secara nasional. Dinamika negeri akan berlangsung dengan cepat, tentu kita harus menciptakan kader-kader FK-UH yang lebih mampu melihat dengan jernih konteks negeri ini dan berani menyikapi. Bukan masyarakat kampus –masyarakat intelek- jika ikut mengkampanyekan partai atau calon tanpa memiliki alasan yang masuk akal. Terlebih lagi jika mendukung kembali penguasa-penguasa ORBA terdahulu atau mendukung reformis gadungan yang menguntungkan penguasa-penguasa ORBA.
Memang selalu menjadi pertanyaan apakah gerakan mahaisiswa hanya sekedar gerakan moral atau gerakan politik. Namun yang lebih berbahaya jika mengaku sebagai gerakan politik namun partai politik yang didukungnya justru mengkhianati masyarakat kampus yang mendukungnya melalui dukungan terhadap ORBA sehingga berkuasa kembali, sementara masyarakat kampus tersebut tidak menyadari bahwa mereka dimanfaatkan oleh penguasa koruptor. Jangan sampai KEMA FK-UH nanti menjadi perpanjangan tangan salah satu partai politik yang opurtunis.
Semoga calon terpillih nanti mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut dengan baik.